NELANGSA
By : SiriuS
Rindu ini deras menyisir kalbu, entah apa warnanya. Hitam atau
putih itu tidak menjadi masalah. Yang ku khawatirkan ialah, apakah ia akan bisa
bertahan lama bersarang dalam tubuh ini, beradu argumen dengan hati dan memukul
setiap pikiran yang menggelayut menyelubungi rongga dada?
Rana, gadis yang kini menginjak
umur dua puluh tahun itu, duduk termangu di lorong kampus hijaunya. Ia seakan
menerka peristiwa dua tahun silam yang telah ia lewati.
April, 2014
Pengumuman kelulusan telah usai, beberapa siswa diantaranya telah
dinyatakan diterima di Perguruan Tinggi Negeri di kota sebrang. Entah apa yang
dipikirkan oleh semua siswa kedepannya, ketika mereka telah memperoleh
kepastian tersebut. Esoknya, adalah hari dimana pas sekali dijadikan untuk
bersantai ria. Selebihnya akan terasa jenuh dan membosankan jika dinikmati
hanya dengan berdiam diri dirumah menunggu keputusan pendaftaran ujian masuk
perguruan tinggi agama islam negeri (UMPTAIN).
Enggan sekali Rana mengikuti pendaftaran tersebut, jika bukan karena
kemauan kedua orang tuanya pasti dia sudah mengisi formulir pendaftaran SNMPTN.
Niatnya hanya ingin memebahagiakan kedua orang tua, selebihnya kuasa Tuhan biar
yang beradu dengan alam. Ia tahu, sekeras apapun ia menentang, tetap egonya
yang akan menang, bukan dirinya. Seberapa pun ia menang dalam beradu argumen
dengan kedua orang tuanya, maka yang tertinggal hanya penyesalan dan perasaan
bersalah.
Dering HP memecah kesunyian pikiran Rana, ia menyangka bahwa pesan
singkat yang masuk itu adalah milik sang operator SIMnya. Yap, siapa lagi yang
tidak ada kerjaan memberi kabar jam 06.00? tentulah orang yang kurang kerjaan, bukan?
pikirnya. Bagai disengat aliran listrik 5 watt, Rana seketika berlari menengok
keluar rumah, namun apa daya, ketika ia melihat jam di dinding waktu 30 menit
telah melebihi waktu sang pengirim pesan.
Sejujurnya ia teramat ragu akan jawaban untuk seseorang yang telah
meninggalkan pesan untuknya. Ia bimbang. Harusnya ia telah menetapkan
pilihannya itu jauh-jauh hari sebelumnya, sebelum UN berlangsung, ah tidak itu
terlalu berlebihan. Rana telah memikirkan jawabannya ketika ia menginjak masa
sebelum UTS kelas XII SMA.
Kini, masa-masa itu membawa angannya kembali melayang ke masa
pertama saat menempuh kelas XII. Ada hati yang tertinggal disana, teramat ia
membenci sesuatu yang harus memilih diantara salah satunya.
“Bagaimana ini?, aku tidak mungkin mengecawakan seseorang, namun
aku juga ingin doa-doa yang selama ini aku panjatkan menjadi kenyataan”. Batinnya
beradu dengan argumen-argumen yang menyesakkan dada, memekatkan otak. Ia sadar,
bahwa kini ia telah bersama dengan orang lain, orang yang selalu care, orang
yang selalu menghiburnya disaat apapun keadaannya. Meskipun ia tahu orang
terbut tidaklah nyata.
Ditimang-timangnya kembali ponsel yang ia genggam selama 10 menit.
Pikirannya bingung, antara membalas, dan tidak. Antara jujur dan tidak. Namun
akhirnya keputusan apapun tetap ia berikan kepada laki-laki yang sedang
menunggu jawabannya itu. Ardi, adalah laki-laki yang selama ini dekat dengan Rana.
Sebenarnya Rana sudah menepis perasaan itu sejak ia menyadari bahwa Ardi tak
mungkin diharpkan olehnya. Namun saat-saat Rana menyerah dan bangkit lagi,
sosok itu seolah memberi kesejukan serta ruang yang penuh dengan kehangatan.
Rana tidak pernah menyangka, jika akan ada seorang laki-laki yang
memberi perhatian berlebih kepadanya. Perasaan itu ia abaikan dan menganggap
bahwa semua teman laki-lakinya sama-sama baik baginya.
Rana tidak pernah menginginkan jika hatinya digelayuti perasaan
yang terlalu dalam kepada seseorang, sehigga membuat dia terlalu menunggu dan
berharap. Ia telah merasakan kekecewaan itu sebelumnya, ia tidak mau mengulangi
hal yang sama dalam jangka waktu yang berbeda. Terlebih, sekarang ia mengidap
penyakit yang sangat berhubungan dengan
hormonal.
Ia pun memutuskan membalas pesan singkat Ardi dengan kata maaf dan
memberitahu bahwa ia kini telah menjadi bagian kehidupan dari orang lain. Orang
jauh yang tidak pernah bertemu dengannya.
Juni 2014
“Daun yang jatuh tak pernah membenci
angin, ia ikhlas diterpa angin, dibawa badai ketempat terasing sampai
menjatuhkannya lagi, hingga ia layu”
Esok, di bulan Juni, entah persis atau tidaknya Rana telah melewati
masa-masa suram yang ia panggil sendiri melalui orang lain. Bulan kemarin, ia
baru mengetahui bahwa sang mantan kekasih dari Aldi, yang kini ia kenal sebagai
kekasihnya, tiba-tiba mengatakan bahwa mereka belum resmi berpisah. Kabar itu
seakan membuat sesak nafas dan juga pening di kepala.
Sejenak
berfikir untuk meninggalkan masa-masa tersuram bersama Aldi, Rana kembali
menyibukkan diri dengan teman-temannya yang ia kenal semasa SMP dulu. Ia adalah
Aya. Aya seorang gadis tomboy yang menjelma menjadi gadis alim nan penuh
enegik. Bersama Aya dan teman-temannya yang lain, yang ia kenal melalui Aya,
Rana menyibukkan diri berkutat dengan soal mulai dari tes Sosiologi, Sejarah
islam, Matematika, Bahasa Arab, Hadits dan lain-lain. Ia tahu bahwa ia lemah
dalam segala bidang agama, untunglah teman-teman Aya yang sebagian besar
lulusan pondokan mau mengajarinya hingga paham.
Hendak
mau dikata, takdir sudah di depan mata. Pengumuman kelulusan tes pun telah
terpasang di papan informasi di depan kampus. Susuatu yang Rana nantikan kini hadir
menjemput. Meski kini ia tidak datang ke kempus, seseorang teman SMAnya, Hanifa
telah mengabarkan bahwa ia lulus tes.
Lamunan Rana seakan terjeda tatkala seorang gadis memakai rok
hitam, kemeja biru tua serta jilbab biru mudanya menghampiri Rana sambil
menepuknya.
“Arin, ikh kamu ngagetin aja, bikin jantungku copot tau gak”
cerocos Rana sebel.
“Ya maaf Ran, kan kamu tau sendiri, biasanya kamu yang sering telat
sih, kok ini tumben kamu dateng awal banget, hayooo jangan-jangan ada sesuatu
ya?” Goda Arina
Semu kemerahan tampak diwajah Rana, tak kuasa ia
menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya ia
menghabiskan waktu tadi sengaja untuk melamun.
“ikh, apaan sih Arina ini, ya jelas ada sesuatu to ya, kan mau
ujian ibadah tilawah, yuk ah cepet ke UPB, lama nih kamu”, mengalihkan
pembicaraan.
Mereka
berdua menyusuri jengkal demi jengkal lorong kampus hijau yang penuh pepohonan.
Meski keinginan adalah kunci betahnya perasaan, namun itu tak selamanya benar,
buktinya kampus yang sekarang menjadi tempat belajar Rana adalah kampus yang
dulunya dipilihkan oleh kedua orang tuanya.
Rana pernah mendamba sesuatu yang lebih, Rana juga pernah mengharap
sesuatu yang melebihi angan, namun Rana tahu, kuasanya tak sehebat
kehendak-Nya, kini aku dan Ardi sama-sama saling berkomunikasi dengan baik.
Ardi menjalani kehidupan bersama adik kelasnya, dan Aldi entah, hanya seseorang
fiktif yang ternyata tidak dapat dibuktikan dengan fakta, terlebih Diana mantan
pacarnya, telah menceritakan sesuatu yang mencurigakan mengenai Aldi. Jalan
hidup seseorang siapa yang tahu Allah bahkan telah menuliskan takdir hambanya
sejak hambanya masih dalam kandungan seorang ibu.